Skip to main content

Posts

Janji

Jakarta, 1996 Hujan mulai berhenti menetes, meninggalkan genangan-genangan air di jalan-jalan yang permukaannya tak rata. Hari itu tubuh ku bagai habis berlari tiga kali keliling Gelora Bung Karno. Letih sekali rasanya, sebab hari ini di kantor penuh dengan berita-berita politik yang masih ramai diperbincangkan, aktivis-aktivis partai yang menyatakan oposisi pemerintah semakin galak dan berani menggelar demo-demo yang menyentak wajah pemilik rezim. Aku bukan salah satunya, aku hanya seorang wartawan, yang kebetulan bekerja di kantor berita yang konsentrasi pada berita politik dan budaya. Kaki ku sampai pada sebuah rumah sederhana dengan gaya khas rumah-rumah di Jogja. Pemiliknya memang seorang yang lahir dan menempa pendidikan di sana, seorang lelaki berumur 35 tahun keluar rumah dan membukakan pagar untuk ku. “pulangnya malem banget sih kamu, sudah makan belum? Tas mu kenapa bisa sampai kucel begitu sih? Hari minggu nanti kita ke Sarinah ya, beli yang baru ah…”. Belum sempa
Recent posts

Dongeng

Malam ini Bulan bercerita lagi tentang seorang pengembara Yang tak pernah bisa singgah Tak boleh memiliki rumah Tak peduli seberapa banyak nyaman yang ditawarkan  Ia lebih senang mengasingkan dirinya ke dalam lautan  Melarung mimpi-mimpinya sendiri ke samudera harapan Suatu malam, seseorang dari utara mengajaknya menetap Membangun sebuah rumah kecil tanpa atap Sang pengembara masih harus melawan dirinya sendiri  Lalu berlalu, lagi-lagi terpaksa menyakiti Memberinya bait puisi tanpa isi Kali ini ia harus lebih tahu diri Bahwa kapalnya masih harus disauh Perjalanannya masih jauh Kesana, ketempat sunyi tanpa ia harus melawan dirinya sendiri “Konon katanya, sang pengembara memang dituliskan tak boleh bahagia..” gumam Rembulan pada ku, sebelum pagi datang. image source : https://id.aliexpress.com/item/Hips-dixon20-X35-inch-Hot-Sale-sexy-Surreal-Trees-women-movie-Poster-Custom-ART-PRINT/32485677202.html Senin, 2 Juni 2018 00:08 Ms. A,

Surat

Semalam, sebelum matahari membelah dirinya sendiri, dan terbenam bukan pada barat atau timur. Ibu menyuruh ku menutup jendela dan mencegah angin musim dingin masuk dan bertamu. Lalu menyakiti ku yang masih ingin berlindung dalam selimut. yang hangatnya tak pernah lebih atau menang atas rasa hangat yang dari hati mu, pada ku. Dan tiba-tiba saja aku ingin menulis sebuah surat untuk kau, yang sedang berkelana nun jauh entah dimana. Aku ingin tau apa kau juga merasakan dinginnya angin malam musim dingin seperti ku saat ini. Apa kau juga sedang berlindung dalam selimut seperti ku saat ini. Dan yang akan selalu aku ingin ketahui, apa kau juga rindu lalu ingin menulis surat untuk ku seperti yang ku rasakan saat ini. Atau malah kau sedang sibuk menjelajahi dunia, dan lupa pada ku. Lupa pada kita?. Kalau sudah begini aku tak bisa lagi menguasai hati ku sendiri, yang sudah sesak dirasuki rasa keingintahuan ku, atas keberadaan diri mu. Juga dengan hati mu. Ku tulis sebuah surat yang k

T(um)itis

Senayan 2012, Seorang barista sedang membersihkan alat pembuat buih susu di mesin kopi, berdesis mengeluarkan asap tipis, harum manis susu menguar memenuhi seisi kedai kopi yang tidak terlalu besar. Kasir di sebelahnya sedang sibuk menghitung sisa kupon minuman gratis.   Hari ituJakarta, begitu terik, dan silau. Barangkali sore nanti akan turun hujan. Begitu dalam pikiran orang-orang di jalanan di depan kedai. Seluruh isi kedai kopi terlihat dari luar, hanya dibatasi kaca-kaca besar. Ada lima pasang meja dan kursi, hanya dua yang terisi. Dua pasang meja dan kursi yang berhadapan. Seorang laki-laki dengan caffelatte yang masih belum disentuh sejak tadi. Hampir dingin, menunggu si empunya selesai mengetik laporan berita-berita yang ia liput kemarin. Bangku di depannya yang kosong diisi tas ransel dan beberapa majalah film   terbitan kantornya. Dua paragraf lagi, dan ya. Selesai. Bimo menghela nafasnya panjang dan lega, menandai beritanya yang terakhir selesai dan langsung d

Endorphin

Kamu tau rasanya melayang tapi bukan terbang? Sekilas seperti senyum mu banyak mengambang di udara Tapi tangan terlalu lemah menangkapnya Tiap nafas ku penuh sesak harum kulit mu Euforia kenikmatan Aku ingin tinggal di dalam pikiran mu Membuat film yang isinya kamu menari Melayang-layang di ruang terbuka Kita berdua menangkapi imanjinasi Antara nyata dan khayalan Kamu tau rasanya melayang tapi bukan terbang? Menarik ku ke dimensi lain Menjelajahi mimpi ku sendiri Mendengar mu menyanyikan ku dongeng sebelum tidur Dan menepuk pundak ku agar lelap Membisikan ku puisi-puisi tentang Betapa manisnya teh buatan ku hari ini Bayangkan jika kaki mu menjauh Berlari dari euforia ini Salju meleleh di luar jendela Dingin menusuk tulang dan urat-urat ku Berpendar ke seluruh sel dan jaringan Sepi memenjarakan ku dalam nyeri Tak ada lagi hangat di dekap mimpi Aku tak ingin mendarat ke bumi Kamu, adalah adiksi “love affects our brain like a dr
Aku melihat resah mu tercetak jelas  di balik jendela yang basah Hujan masih belum berhenti  Degup ragu-ragu itu bersahutan bersama petir Badai mengamuk di dada mu Bising suaranya  Dan aku menikmatinya dalam diam,  Bandung, 15 desember 2017 Ms. A,

Jatung Hati

Aku melihat buruh cuci, kuli panggul, tukang masak, petani padi, guru sd, dan malaikat dalam bayangan ibu ku Aku menghirup bau tembakau, aspal jalanan, keringat lelah, hujan lebat, dan mahalnya harga pendidikan dari tangan bapak ku Maka tak lagi ku mintakan apa-apa pada mereka Selain surga,  :)  22 September 2017 Buat saya setiap hari adalah hari ibu dan ayah, tak ada ukuran usia dirumah, saya masih kanak-kanak yg seringkali minta tidur bertiga, banyak pilihan yg saya relakan demi mereka, tapi masih saja saya merasa berhutang jasa, bagaimana bisa begitu rindu dengan orang-orang yang, padahal ada di depan mata :)   ,